Jumat, 17 Agustus 2012

Mengobati Jiwa dengan Upaya Keras Melawan Dorongan Hawa Nafsu Yang Buruk


Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa di samping muhasabah, obat yang lain bagi jiwa yang ammarah bis-su’ adalah mukhalafah, yakni menentang hawa nafsu atau keinginan jelek dari hawa nafsu itu sendiri. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” an-Nazi’at: 40—41
Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya, memperingatkan jiwanya dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.”
Sahl t mengatakan, “Meninggalkan keinginan buruk jiwa adalah kunci surga, karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
‘Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)’.” (an-Nazi’at: 40—41)
Abdullah bin Mas’ud z mengatakan, “Kalian sekarang berada pada zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Al-Alusi  rahimahullah dalam tafsirnya juga menerangkan, “…. (Arti ayat di atas) adalah memperingatkan jiwanya dan menahannya dari kemauan-kemauan yang membinasakan, yaitu condong kepada syahwat, serta meluruskannya dengan kesabaran, membiasakannya untuk mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia dan kembang-kembangnya, tidak terkecoh oleh gemerlapnya dan hiasan-hiasannya karena mengetahui betapa jeleknya akibatnya. Ibnu Abbas c dan Muqatil t mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat dan teringat kedudukannya saat dihisab di hadapan Rabbnya lalu takut serta meninggalkan maksiatnya.
Kata al-hawa (seperti dalam ayat) asalnya bermakna al-mail (kecondongan, kemauan, keinginan, hasrat).
Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan atau keinginan kepada syahwat. Dengan demikian, segala keinginan kepada syahwat disebut al-hawa (Ind: nafsu syahwat), (kata kerja hawa juga bermakna terjun, sehingga nafsu syahwat dinamakan demikian) karena hal itu akan mengempaskannya kepada segala yang lemah di dunia dan kepada jurang yang dalam di akhirat.
Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji. Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Apabila engkau ingin kebenaran, lihatlah hawa nafsumu lalu selisihilah.’ Al-Fudhail t mengatakan, ‘Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu….’
Hampir-hampir keburukan mengikuti hawa nafsu dan kebaikan dalam hal menyelisihinya adalah dua hal yang mesti. Akan tetapi, orang yang tidak menurutinya hanya sedikit, selain para nabi dan beberapa ash-shiddiqin (yang sangat jujur dalam beriman). Beruntunglah orang yang selamat darinya.” (Ruhul Ma’ani)
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnul Jauzi t mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)
Nabi Yusuf alaihi salam adalah salah satu teladan dalam hal menentang hawa nafsu dan keinginan jiwa yang tidak baik.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah  menerangkan, “Nabi Yusuf tergolong ‘orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’.”
Sesungguhnya, Yusuf waktu itu adalah seorang yang muda dan bujang, tertawan di negeri musuh, tidak ada di sana kerabat dan teman yang ia merasa malu dari mereka apabila melakukan perbuatan keji. Karena, sebagian besar manusia akan terhalangi melakukan perbuatan-perbuatan jelek oleh rasa malunya dari orang yang dia kenal.
Jadi, apabila mengasingkan diri, seseorang akan melakukan apa saja yang diingini oleh hawa nafsunya. Nabi Yusuf q juga saat itu hanya berdua sehingga tidak takut kepada siapa pun. Menurut hukum nafsu ammarah—apabila nafsu beliau demikian—mestinya beliaulah yang merayu-rayu (istri raja). Bahkan, mestinya beliaulah yang membuat tipu daya untuk meraihnya, sebagaimana kebiasaan mayoritas orang yang berhasrat kepada wanita-wanita bangsawan apabila tidak mampu secara langsung mengajaknya ‘berbuat’. Adapun apabila dia diajak atau diminta, walaupun yang meminta itu seorang wanita pembantu, tentu dia menyambutnya dengan segera. Lantas, bagaimana apabila yang memintanya adalah tuan yang menguasainya, yang dia takut menyelisihi perintahnya?
Ditambah lagi suaminya—yang seharusnya marah besar kepada istrinya—ternyata tidak menghukumnya, bahkan Yusuf lah yang diperintah untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (yang tidak punya cemburu) berteriak. Apalagi, wanita tersebut meminta bantuan wanita-wanita lain dan memenjarakan Yusuf.
Namun, Nabi Yusuf alaihi salam mengatakan sebagaimana firman Allah,
“Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)
Hendaknya seorang yang cerdas memerhatikan faktor-faktor yang mendorong wanita tersebut untuk mengajak Yusuf kepada apa yang dia ajak: terpenuhinya segala sarana dan kuatnya ajakan sang wanita, tiada yang memalingkannya apabila dia melakukannya, tidak ada pula makhluk yang menyelamatkannya dari perbuatan tersebut (namun Nabi Yusuf q tetap menolaknya –pen.). Ini semua untuk menjelaskan bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf q termasuk ujian yang sangat besar, dan bahwa ketakwaan dan kesabarannya menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan terbesar. Sungguh, jiwa Yusuf q termasuk jiwa yang paling bersih. Bagaimana dia mau mengatakan,
“Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Allah Mahatahu bahwa jiwanya bersih, bukan jiwa yang ammarah bis-su’ (suka menyuruh kepada kejelekan). Bahkan, jiwa beliau termasuk jiwa yang paling suci. Hasrat yang sempat ada pada beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya. Dengan sempat munculnya hasrat itu lantas beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu Wata’ala, sungguh menambah satu kebaikan yang termasuk kebaikan yang sangat besar yang menyucikan jiwa. (Majmu’ Fatawa bagian tafsir dengan sedikit diringkas)
Itulah salah satu gambaran indah dalam hal melawan keinginan jiwa. Dengan itu, jiwa semakin suci, kedudukan di sisi Allah Subhanahu Wata’ala pun semakin tinggi. Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna tidak cukup hanya melawan kemauan jeleknya, tetapi dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amalan-amalan saleh. Itulah yang diistilahkan oleh Ibnul Qayyim t dengan jihadun nafs (berjihad melawan hawa nafsu, red).
Ibnul Qayyim rahimahullah  menerangkan bahwa jihadun-nafs melalui empat tingkatan:
1. Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar, yang tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat selain dengannya. Apabila jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut setelah mengetahuinya.
Apabila tidak demikian, sekadar ilmu tanpa amal, kalau tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.
3. Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya
Apabila tidak demikian, ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari siksa Allah Subhanahu Wata’ala.
4. Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta menanggung beban itu semua karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani, karena sesungguhnya salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak untuk disebut rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)
Jihadun nafs ini bukan hal sepele. Ini adalah awal dari semua langkahnya dalam segala amalan, termasuk amalan-amalan besar. Bahkan, jihad melawan musuh yang kafir yang merupakan puncak dari punuknya Islam adalah cabang dari jihadun nafs.
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan, “Karena jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu Wata’ala di luar adalah cabang dari jihadun nafs (usaha hamba menundukkan jiwa), Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengatakan, ‘Mujahid adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk selalu taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wata’ala.’ (HR. )
Maka dari itu, jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad melawan musuh yang di luar dirinya. Jihadun nafs adalah asal-usul dari jihad melawan musuh. Hal ini karena orang yang tidak melakukan jihadun nafs terlebih dahulu agar melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh-Nya lalu memerangi jiwanya karena Allah Subhanahu Wata’ala, tidak mungkin ia akan berjihad melawan musuh di luar dirinya….” (Zadul Ma’ad, 3/5—6)
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, jihadun nafs lebih besar daripada jihad melawan musuh, karena jiwa itu adalah sesuatu yang disukai dan ajakannya juga disukai. Sebab, jiwa tidak mengajak selain kepada sesuatu yang sesuai dengan nafsu (keinginan/syahwat). Sementara itu, menyesuaikan dengan sesuatu yang disukai dalam hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan itu saja tetap disukai, lebih-lebih jika dia mengajak kepada sesuatu yang menyenangkan. Apabila keadaannya dibalik, dan jiwa yang disukai tadi ditentang ajakannya, jihad/perlawanan terhadapnya semakin berat dan masalah semakin sulit.
Berbeda halnya dengan jihad melawan orang-orang kafir karena tabiat dan watak manusia (pada dasarnya) adalah memusuhi lawan.
Ibnul Mubarak rahimahullah  mengatakan ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala,
‘Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.’ (al-Ankabut: 69)
Maksudnya adalah jihad untuk menundukkan jiwa dan hawa nafsu.”
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk menuju jiwa yang suci.

Penjelasan Rukun Iman


Aqidah Islamiah dibangun di atas rukun iman yang enam, yaitu: Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhirat, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.
Keenam rukun ini telah disebutkan secara jelas dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:


“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.” (QS. Al-Baqarah: 177)


Adapun, iman kepada takdir maka disebutkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.”(QS. Al-Qamar: 49)
Sementara dari As-Sunnah adalah hadits Umar bin Al-Khaththab yang masyhur tentang kisah datangnya Jibril alaihissalam untuk bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang iman. Maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim no. 9)
Berikut penjelasan ringkas mengenai keenam rukun iman ini:

1.    Iman kepada Allah.
       Tidaklah seseorang dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 perkara:
a.       Mengimani adanya Allah Ta’ala.
b.      Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah.
c.       Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah Ta’ala.
d.      Mengimani semua nama dan sifat Allah yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam tetapkan untuk Allah, serta menjauhi ta’thil, tahrif, takyif, dan tamtsil.
2.    Iman kepada para malaikat Allah.
Maksudnya kita wajib membenarkan bahwa para malaikat itu ada wujudnya dimana Allah Ta’ala menciptakan mereka dari cahaya. Mereka adalah makhluk dan hamba Allah yang selalu patuh dan beribadah kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”(QS. Al-Anbiya`: 19-20)
Kita wajib mengimani secara rinci setiap malaikat yang kita ketahui namanya seperti Jibril, Mikail, dan Israfil. Adapun yang kita tidak ketahui namanya maka kita mengimani mereka secara global. Di antara bentuk beriman kepada mereka adalah mengimani setiap tugas dan amalan mereka yang tersebut dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti mengantar wahyu, menurunkan hujan, mencabut nyawa, dan seterusnya.
3.    Iman kepada kitab-kitab Allah.
Yaitu kita mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah kalam-Nya, dan kalamullah bukanlah makhluk karena kalam merupakan sifat Allah dan sifat Allah bukanlah makhluk.
Kita juga wajib mengimani secara terperinci semua kitab yang namanya disebutkan dalam Al-Qur`an seperti taurat, injil, zabur, suhuf Ibrahim, dan suhuf Musa. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimani secara global bahwa Allah Ta’ala mempunyai kitab lain selain daripada yang diterangkan kepada kita. Secara khusus tentang Al-Qur`an, kita wajib mengimani bahwa dia merupakan penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun sebelumnya.
4.    Iman kepada para nabi dan rasul Allah.
                 Yaitu mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata.
Wajib mengimani bahwa semua wahyu nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala. Karenanya siapa saja yang mendustakan kenabian salah seorang di antara mereka maka sama saja dia telah mendustakan seluruh nabi lainnya. Karenanya Allah Ta’ala mengkafirkan Yahudi dan Nashrani tatkala tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Allah mendustakan keimanan mereka kepada Musa dan Isa alaihimassalam, karena mereka tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Juga wajib mengimani secara terperinci setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita wajib mengimaninya secara global.
Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”(QS. Ghafir: 78)
5.    Iman kepada hari akhir.
                             Dikatakan hari akhir karena dia adalah hari terakhir bagi dunia ini, tidak ada lagi hari keesokan harinya. Hari akhir adalah hari dimana Allah Ta’ala mewafatkan seluruh makhluk yang masih hidup ketika itu -kecuali yang Allah perkecualikan-, lalu mereka semua dibangkitkan untuk mempertanggung jawabkan amalan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

كما بدأنا أول خلق نعيده وعدا علينا إنا كنا فاعلين

“Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya, janji dari Kami, sesungguhnya Kami pasti akan melakukannya.” (QS. Al-Anbiya`: 104)

Ini makna hari akhir secara khusus, walaupun sebenarnya beriman kepada akhir itu mencakup 3 perkara, dimana siapa saja yang mengingkari salah satunya maka hakikatnya dia tidak beriman kepada hari akhir. Ketiga perkara itu adalah:

a.    Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh -yaitu alam di antara dunia dan akhirat- berupa fitnah kubur oleh 2 malaikat, nikmat kubur bagi yang lulus dari fitnah, dan siksa kubur bagi yang tidak selamat darinya.

b.    Mengimani tanda-tanda hari kiamat, baik tanda-tanda kecil yang jumlahnya puluhan, maupun tanda-tanda besar yang para ulama sebutkan jumlahnya ada 10. Di antaranya: Munculnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa alaihissalam, keluarnya Ya`juj dan Ma`jun, dan seterusnya hingga terbitnya matahari dari sebelah barat.

c.    Mengimani semua yang terjadi setelah kebangkitan. Dan kejadian ini kalau mau diruntut sebagai berikut: Kebangkitan lalu berdiri di padang mahsyar, lalu telaga, lalu hisab (tanya jawab dan pembagian kitab), mizan (penimbangan amalan), sirath, neraka, qintharah (titian kedua setelah shirath), dan terakhir surga.
6.    Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.

Maksudnya kita wajib mengimani bahwa semua yang Allah takdirkan, apakah kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Beriman kepada takdir Allah tidak teranggap sempurna hingga mengimani 4 perkara:

a.    Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengimani segala sesuatu kejadian, yang baik maupun yang buruk. Bahwa Allah mengetahui semua kejadian yang telah berlalu, yang sedang terjadi, yang belum terjadi, dan semua kejadian yang tidak jadi terjadi seandainya terjadi maka Allah tahu bagaimana terjadinya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)

b.    Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan semua takdir makhluk di lauh al-mahfuzh, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Saya pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah telah menuliskan takdir bagi semua makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 4797)

c.    Mengimani bahwa tidak ada satupun gerakan dan diamnya makhluk di langit, di bumi, dan di seluruh alam semesta kecuali semua baru terjadi setelah Allah menghendaki. Tidaklah makhluk bergerak kecuali dengan kehendak dan izin-Nya, sebagaimana tidaklah mereka diam dan tidak bergerak kecuali setelah ada kehendak dan izin dari-Nya.
Allah Ta’ala berfirman :
 yang artinya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (mengerjakan sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)

d.    Mengimani bahwa seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat mereka beserta seluruh sifat dan perbuatan mereka adalah makhluk ciptaan Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:
yang artinya :“Allah menciptakan segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

AURA TOTAL


Arti Warna aura


Kalau kita perhatikan dengan santai dan pandangan yang jernih maka kita dapat melihat walau mungkin secara samar bahwa pada badan yang hidup ( juga ada badan tak hidup ) terdapat semacam lapisan warna yang meliputinya yang kita kenal dengan nama  AURA.

Warna dari Aura mirip seperti warna pelangi yang menyelimuti permukaan sebuah benda  (terutama benda hidup) dan warna tsb dapat berubah setiap saat tergantung dari keadaan mental orang tsb.

Pada manusia Aura dapat kita lihat menjadi TIGA bagian .
Bagian pertama atau bagian yang paling dekat dengan permukaan tubuh yang seakan menyelimuti dan mengikuti lekuk tubuh secara tepat adalah Aura Kembaran kita.(atau disebut juga Aura kembaran Etheris).
Warna Aura ini kebanyakan berwarna gelap atau kadang agak kelabu.

Lapisan Kedua terletak diatasnya atau diluarnya adalah Aura bagian dalam yang sedikit banyak mencermin kankeadaan kesehatan si pemilik tubuh tsb.

Lapisan ketiga adalah lapisan diatasnya lagi atau dibagian luarnya lagi yang kita sebut Aura bagian luar ,yang sangat banyak terpengaruh oleh keadaan mental atau kebatinan orang ybs.


Warna dan Artinya :


Hitam
Lebih banyak diartikan sebagai pikiran yang negatif
Merah
Lebih banyak diartikan dengan kemarahan dan hawa nafsu

Coklat
Lebih banyak diartikan dengan keserakahan dan mementingkan diri sendiri.

Abu-Abu
Lebih banyak diartikan dengan suasana kemuraman dan kesedihan kadang ketakutan.

Oranye
Lebih diartikan dengan ambisi.

Kuning
Lebih diartikan dengan kecerdasan pada ybs.
Hijau
Sifat baik

Biru
Rasa keagamaan ,ketaatan dan cita-cita mulia

Putih
Menunjukan tingkat kerohanian yang tinggi.


Tentu masih banyak lagi warna kombinasinya yang dapat kita lihat dan ini mempunyai arti gabungan tsb.
   


1.     Membuka kekuatan tersembunyi dari aura seperti kharisma, daya tarik, pesona dan kecantikan alami.
2.     Membersihkan kotoran, kekusaman, dan energi negatif yang terdapat dalam aura Anda
3.     Membuka semua hambatan-hambatan yang menghambat munculnya aura Anda
4.     Membuat muka lebih bercahaya dan terlihat lebih cantik atau tampan.
5.     Memberikan ketenangan dan kedamaian dalam hati
6.     Pendukung untuk melatih diri melenyapkan semua emosi-emosi negatif seperti kesedihan, kekecewaan, kecemasan, rasa kesal, marah, benci yang berlebihan dan lain-lain.
7.     Karena Anda memiliki daya tarik dan wajah Anda lebih enak dipandang, maka hal itu akan mambantu Anda meraih kesuksesan dan mendapatkan banyak uang.

DO’A SUAMI YG SHALEH BUAT ISTRI TERCINTA


Bismillahirrohmaanirrohiiim…
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiiin…
Ashsholaatu wassalaamu ‘alaa rosuulillaah…

 Terimakasih, yaa Robbiii…
Engkau telah menyatukan kami dalam ikatan pernikahan ini. Menghalalkan yang sebelumnya belum halal atas kami. Mengharamkan yang sebelumnya belum haram atas kami. Mengikuti sunnah Rasul-Mu. Menyempurnakan separuh dien-Mu. Menyemai ibadah dalam bilik kemesraan kami. Sembari terus–menerus mengharapkan ridho dan ampunan-Mu…


Penantian panjang yang kami jalani dengan harap-harap cemas bersama doa-doa yang dilantunkan di sudut hening malam, di pagi berkabut, maupun di terik siang yang membakar peluh, telah Engkau usaikan dalam majelis pernikahan yang sederhana dan takzim itu. Ijab Qabul dan Ikrar suci yang diucapkan lirih pada sore hari itu, merambatkan segala rasa yang terpatri dalam di lubuk batin kami. Menggema memenuhi rongga kepala dan hati kami. Hingga air mata haru dan isak tangis kami pun tak kan mampu melukiskannya.

Sembari terus-menerus mengharapkan ridho dan ampunan-Mu, atas dosa-dosa yang telah dan mungkin akan terjadi, kami memohon kepada-Mu, dengan segenap harapan dan kerendahan hati, sudilah kiranya Engkau menuntun kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang Engkau murkai. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang sesat. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang dzhalim. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang fasik. Jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang kafir. Selamatkanlah kami dalam kehidupan kami di dunia dan di akhirat kelak.

Yaa Robbiii…
Jadikanlah isteriku isteri yang taat menjalankan perintah-Mu, dan tegas meninggalkan larangan-Mu. Jadikanlah ia isteri yang taat kepadaku dalam perjalanan menggapai ridho-Mu. Jauhkanlah ia dari sifat-sifat buruk dan bejat, dari sifat ujub dan khianat, dari sifat dzhalim dan fasik, dan sifat-sifat yang mendatangkan murka-Mu. Jadikanlah ia isteri shalehah, sebaik-baik perhiasan dunia bagiku. Jadikanlah ia sahabat terbaikku dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Jadikanlah ia sahabat terbaikku dalam menuntut ilmu. Menjadi guruku. Menjadi muridku. Menjadi teman belajarku. Menjadi rekan sejawatku dalam berlomba-lomba di jalan kebaikan.

Yaa Robbiii…
Jadikanlah aku imam bagi keluargaku. Imam yang adil dan mengajak kepada jalan yang Engkau ridhoi. Bimbinglah aku dalam memimpin. Tegurlah aku dikala lalai dari tanggung jawabku, dengan teguranRahman dan Rahim-Mu. Jauhkanlah aku dari sifat-sifat buruk dan bejat, dzhalim dan fasik, dari sifat ujub dan khianat, dan dari segala sifat yang mendatangkan mudharat dan murka-Mu. Kuatkanlah keimananku, sebagai obor penerang bagi keluargaku dalam mengarungi gelapnya kehidupan akhir zaman ini. Bimbinglah kami, yaa Robbal ‘aalamiiin…



Yaa Robbiii…
Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Ampunilah dosa-dosa kami sebelum dan sesudah hari pernikahan kami. Baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari. Ampunilah dosa Ibu dan Bapak kami. Ampunilah dosa saudara-saudara kami. Ampunilah dosa kerabat-kerabat kami. Ampunilah dosa sahabat-sahabat kami. Ampunilah dosa guru-guru kami. Ampunilah dosa seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Yaa Robbiii…
Karuniailah kami keturunan yang shaleh dan shalehah. Anak-anak yang taat menjalankan perintah-Mu dan tegas meninggalkan larangan-Mu. Anak-anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya. Karuniailah kami keturunan yang akan teguh memperjuangkan tegaknya dien-Mu di bumi ciptaan-Mu ini.

Yaa, Robbiii…
Karuniailah kami keturunan yang menggenggam erat sunnah Rasul-Mu. Memperjuangkan kembalinyakehidupan Islam di persada bumi ini. Generasi yang siap mengorbankan segala yang ada padanya untuk mempertahankan aqidahnya, memperjuangkan al-Haq dan mengingkari al-bathil.

Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaaban naar…
Allohummaghfirlanaa bikaroomika ajma’iiin, watubuwazaqi wa’fu ‘an man yaquulu aamiiin aamiiiin aaamiiin….
Washollollohu ‘alaa sayyiidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi ajma’iiin
Walhamdulillahi robbil ‘aalamiiin…

DOA ISTERI


Ku ketuk pintu rumah, “Assalamu’alaikumm bundaaa….”
“Walikumsalammm…” Jawab yang di dalam.
Seburat wajah yang aku rindukan keluar. Wajah rembulan yang menyejukan hati dan memberikan ketentraman juga kedamaian batin ini. Seulas senyum menghiasi bibir menyabut kedatanganku, menjabat tangan dan menciumnya.
“Jam berapa yah dari tempat kerja?” Tanyanya.
“jam limaan sayanq.”
“oooo…, ayah istirahat dulu ya. Bunda nyiapin minum untuk ayah.
Langsung aku menuju kamar dan rebahan. Tak berapa lama kemudian istriku datang dengan membawa air putih dan makanan kecil.
Segera aku minum dan mengambil makanan kecila dan kumasukan ke mulut.
“Bunda nyiapian makan ya yah..” Dengan membalikan badanya. Aku hanya mengangguk pelan. Sebelum pintu kamar aku memanggilnya.
“Bunda..!”
“ya yah..” Sedikit agak kaget.
Aku hampiri dia dan memeluknya serta ku kecup keningnya.
“Makasih bunda.”
“Sama-sama ayah..” Dengan tersenyum. Dia pun beerlalu setelah pelukan kulepaskan.
Terimakash ya Allah, Engkau telah memberikan anugrah kepada hambamu ini seorang istri yang baik hatinya. Semoga Kau menjadikan ia istri yang solehah juga. Jadikanlah kami keluarga yang benar-benar sakinah mawadah warahmah. Keluarga yang senantiasa mendapatkan berkah dari-Mu, mendapatkan anugrah dari-Mu. Magfiroh dari-Mu, naungan dari-Mu dan ridho dari-Mu. Langgengkan pernikahan kami dan jodohkan kami di akherat nanti. Amin.

Menjelang hari Raya Idul Fitri


Menjelang hari Raya Idul Fitri, pasti kalian memiliki cara meminta maaf kepada kedua orang tua Bagaimana mengungkapkan permohonan maaf kepada kedua orang tua?
Berikut akan kami sajikan tips dan cara memohon maaf kepada orang tua.
1.    Setelah sholat Idul Fitri, kamu bisa langsung mencium tangan ibumu dan mengucapkan permohonan maaf dengan tulus dan ikhlas kepada ibu atas segala kesalahan yang pernah diperbuat.
2.    Tidak hanya itu, meminta maaf kepada orang tua saat Idul Fitri bisa dilakukan di rumah. Biasanya kedua orang tua duduk di kursi dari para anak-anaknya berbaris lalu bersungkeman dan memohon maaf atas segala salah yang pernah diperbuat.
3.    Meminta maaf kepada kedua orang tua dengan cara tidak terlalu formal namun memiliki arti yang dalam. Tidak lupa pula berjanji tidak mengulangi kesalahan pada masa lalu di kemudian hari.
4.    Ini yang paling harus diingat, bahwa meminta maaf tidak perlu harus menunggu. Seharusnya kamu sebagai sosok yang lebih muda harus terlebih dulu menghampiri orang tua kalian.

Di samping itu kami akan menyajikan tips berikut ini untuk anda :

Cara Berbuat Baik/Berbakti Kepada Orang tua
1.        Selalu berbicara sopan kepada kedua orangtua, jangan menghardik, mengomel ataupun memukul mereka. Karena walau hanya berkata “AH” saja tidak diperbolehkan dalam Islam.
2.        Selalu taat kepada orangtua, selama tidak untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT.
3.        Selalu bersikap lemah lembut, janganlah bermuka masam di hadapan mereka.
4.        Selalu menjaga nama baik, kehormatan dan harta kedua orangtua, serta tidak mengambil sesuatu tanpa ijin mereka.
5.        Selalu melakukan hal-hal yang dapat meringankan tugas mereka bedua, meskipun tanpa diperintah.
6.        Selalu bermusyawarah dengan mereka dalam setiap masalah dan meminta maaf dengan baik jika ada perbedaan pendapat.
7.        Selalu datang segera, jika mereka memanggil.
8.        Selalu menghormati kerabat dan kawan-kawan mereka.
9.        Selalu sopan dalam menjelaskan setiap masalah. Jangan membatah mereka dengan perkataan kasar.
10.    Selalu membantu ibu dalam pekerjaan di rumah dan membantu ayah dalam pekerjaan di luar rumah (mencari nafkah).
11.    Selalu mendoakan mereka berdua.
12.    Jangan membantah perintah mereka ataupun mengeraskan suara di atas suara mereka.
13.     Jangan masuk ke tempat/kamar mereka, sebelum mendapat ijin.
14.    Jangan mendahului mereka saat makan dan hormatilah mereka dalam menyantap makanan dan minuman.
15.    Jangan mencela mereka, jika mereka berbuat sesuatu yang kurang baik.
16.    Jika merokok, janganlah dihadapan mereka.
17.     Jika telah sanggup/mampu mencari rezeki, bantulah mereka.
18.    Usahakan bangun dari tempat duduk/tempat tidur, jika mereka datang.
19.    Jika meminta sesuatu dari orangtua, mintalah dengan lemah lembut, berterima kasihlah atas pemberian mereka, maafkanlah jika mereka tidak memenuhi permintaan kita dan janganlah terlalu banyak meminta supaya tidak mengganggu mereka.
20.    Jangan keluar dari rumah/pergi sebelum mereka mengijinkan, meskipun untuk urusan penting. Jika terpaksa pergi, maka mintalah maaf kepada mereka.
21.    Kunjungilah mereka sesering mungkin, berilah hadiah, sampaikan terima kasih atas pendidikan dan jerih payah mereka serta ambillah pelajaran dari anak-anakmu betapa susahnya mendidik mereka. Seperti halnya betapa berat susahnya orangtua kita mendidik kita.
22.    Orang yang berhak mendapat penghormatan adalah ibu, kemudian ayah. Ketahuilah bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
23.    Doa kedua orangtua dalam kebaikan ataupun kejelekan di terima oleh Allah Swt. Maka berhati-hatilah terhadap doa mereka yang jelek.
24.    Usahakan tidak menyakiti orangtua ataupun membuat mereka marah sehingga membuat diri kita merana di dunia dan akhirat. Ingatlah, anak-anakmu akan memperlakukan kamu sebagaimana kamu memperlakukan kedua orangtuamu.
25.    Kedua orangtuamu mempunyai hak atas kamu, istri/suamimu mempunyai hak atas kamu. Jika suatu ketika mereka berselisih, usahakanlah dipertemukan dan berilah masing-masing hadiah secara diam-diam.
26.    Bersopan santunlah kepada setiap orangtua, karena orang yang mencaci orangtua lain sama dengan mencaci orangtuanya sendiri.

INGGGGGGAAAAAAATTT


Ingat-ingatlah ...:)


ILMU-ILMU AL QUR’AN


Alquran adl mukjizat Islam yg kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
utk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju terang serta membimbing mereka ke jalan yg lurus. Rasulullah saw. menyampaikan Alquran kepada para sahabatnya orang Arab asli. Sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan nalurinya. Bila mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw.
Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangannya Imam Bukhari Imam Muslim dan yg lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. katanya Ketika ayat yg artinya ‘Orang-orang yg beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dgn kezaliman’ diturunkan banyak orang yg merasa resah. Mereka kemudian menanyakannya kepada Rasulullah saw. Ya Rasulullah saw. siapakah di antara kita yg tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya? Nabi menjawab Kezaliman di sini bukan seperti yg kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yg telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yg saleh ‘Sesungguhnya kemusyrikan adl kezaliman yg besar’. . Jadi yg dimaksud dgn kezaliman di sini adl kemusyrikan.
Disamping itu Rasulullah saw. juga menafsirkan utk mereka beberapa ayat.
Dalam riwayat Muslim dan yg lainnya dari Uqbah bin Amir berkata Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata di atas mimbar yg artinya ‘Dan siapkanlah utk menghadapi mereka kekuatan yg kamu sanggupi.’ {Al-Anfal 60}. Ingatlah bahwa kekuatan di sini adl memanah.
Para sahabat sangat antusias utk menerima Alquran dari Rasulullah saw.
menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata Seseorang di antara kami bila telah membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran orang itu menjadi besar dalam pandangan kami. Begitu pula mereka selalu berusha mengamalkan Alquran dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yg mengatakan Mereka yg membacakan Alquran kepada kami seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yg lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yg ada di dalamnya. Mereka berkata ‘Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.
Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya selain Alquran krn beliau khawatir akan tercampur dgn yg lain.
Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Rasulullah saw. bersabda Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yg dariku dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yg sengaja berdusta atas namaku ia menempati tempatnya di api neraka.
Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebagian sahabat utk menulis hadis tetapi hal yg berhubungan dgn Alquran tetap didasarkan pada riwayat yg melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.
Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki utk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut Mushaf Imam . Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi.
Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani yaitu dinisbatkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil quran.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. Dan atas perintahnya Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu cara pengucapan yg tepat dan baku serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Alquran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i’rabil quran.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Alquran dan penafsiran ayat-ayatnya yg berbeda-beda di antara mereka sesuai dgn kemampuannya yg berbeda-beda dalam memahami dan krn adanya perbedaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Hal yg demikian diteruskan oleh murid-murid mereka yaitu para tabi’in.
Di antara para mufassir yg termasyhur dari kalangan sahabat adl empat orang khalifah kemudian Ibnu Mas’ud Ibn Abbas Ubai bin Ka’ab Abdurrahman bin Auf Zaid bin Tsabit Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yg diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka’ab. Dan apa yg diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Alquran yg sempurna tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dgn penafsiran tentang apa yg masih samar dan penjelasan apa yg masih global. Mengenai para tabi’in di antara mereka ada satu kelompok terkenal yg mengambil ilmu ini dari para sahabat di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yg terkenal ialah Sa’id bin Jubair Mujahid Ikrimah bekas sahaya Ibnu Abbas Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Sementara di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yg terkenal di Madinah adl Zaid bin Aslam Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Di antara murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yg terkenal adl al-Qamah bin Qais Masruq Al-Aswad bin Yazid Amir Asy-Sya’bi Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata Adapun mengenai ilmu tafsir orang yg paling tahu adl penduduk Mekah krn mereka sahabat Ibnu Abbas seperti Mujahid Atha’ bin Abi Rabah Ikrimah maula Ibnu Abbas lainnya seperti Thawus Abusy-Sya’sa Said bin Jubair dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas’ud dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adl Zubair bin Aslam Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb mereka berguru kepadanya. Dan yg diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir ilmu gharibil quran ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi semua ini didasarkan pada riwayat dgn cara didiktekan.
Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan yg yg dimulai dgn pembukuan hadis dgn segala babnya yg bermacam-macam dan itu juga menyangkut hal yg berhubungan dgn tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Quran yg diriwayatkan dari Rasulullah saw. dari para sahabat atau dari para tabi’in. Di antara mereka itu yg terkenal adl Yazid bin Harun as-Sulami Syu’bah bin Hajjaj Waki’ bin Jarrah Sufyan bin Uyainah dan Abdurrazaq bin Hammam . Mereka semua adl para ahli hadis; tafsir yg mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yg tertulis tidak ada yg sampai ke tangan kita. Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Alquran yg lbh sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yg paling terkenal di antara mereka adl Ibn Jarir at-Thabari .

Sedekah yg Paling Utama


Kata orang tua kita hidup berkeluarga adl kehidupan orang dewasa. Perkataan seperti ini memang sesuai dgn kenyataan yg ada krn orang yg menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dlm menghadapi liku-liku hidup berumah tangga.

Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adl bila ia tdk semata menuntut agar semua hak dipenuhi tanpa menyeimbangkan dgn pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharus orang yg berumah tangga mengerti apa yg menjadi kewajiban terhadap pasangan dan memahami tanggung jawab kemudian berupaya semampunya memenuhi dan melaksanakan kewajiban tersebut.

Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adl memberi nafkah kepada istri dan anak-anak sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dlm Al Qur’an dan As-Sunnah juga dgn ijma’ .

Sengaja kita angkat permasalahan ini krn ada di antara suami yg tdk tahu atau pura-pura tdk tahu dgn kewajiban yg satu ini sehingga ia berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Satu contoh kasus seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suami yg enggan bekerja utk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja mk hasil semata utk diri sendiri utk makan enak dan membeli kebutuhannya. Sementara utk makan sehari-hari anak dan istri ditanggung oleh sang istri yg terpaksa berjualan makanan ringan utk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari saku bila istri telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yg telah memiliki beberapa orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaan sang suami hanya tinggal di rumah tdk mau mencari nafkah utk keluarganya. Akhir tanggung jawab memberi nafkah pun beralih kepada sang istri sementara suami bersikap masa bodoh.

Dua kasus yg kami sebutkan di atas benar-benar terjadi dan mungkin banyak pula kejadian yg sejenis baik itu di kalangan orang yg kelihatan mengerti agama terlebih lagi di kalangan orang awam.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan kewajiban suami ini:

وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dgn cara yg ma’ruf.”

Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Beliau menjawab:

}
“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajah jangan engkau jelekkan1 dan jangan engkau boikot kecuali di dlm rumah.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajib suami memberi makan kepada istri dgn apa yg ia makan dan memberi pakaian kepada istri dgn apa yg ia pakai tdk boleh memukul dan tdk pula menjelekkannya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah beliau memberi peringatan dan nasehat. Kemudian beliau berkata:
}
“Ketahuilah berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita 2 krn mereka hanyalah tawanan di sisi kalian kalian tdk menguasai dari mereka sedikitpun kecuali hanya itu3 terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yg nyata4. mk bila mereka melakukan hal itu boikotlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dgn pukulan yg tdk meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian tdk ada jalan bagi kalian utk menyakiti mereka. Ketahuilah kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adl mereka tdk boleh membiarkan seorang yg kalian benci utk menginjak permadani kalian dan mereka tdk boleh mengijinkan orang yg kalian benci utk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adl kalian berbuat baik terhadap mereka dlm hal pakaian dan makanan mereka.”
Hendak para suami mengetahui bahwa nafkah yg ia berikan kepada keluarga tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan sedekah sebagaimana hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
}
“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarga dan dia mengharapkan pahala dengan mk nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.”

Sampaipun satu suapan yg diberikan seorang suami kepada istri teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat beliau Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu:

}
“Dan apa pun yg engkau nafkahkan mk itu teranggap sebagai sedekah bagimu sampaipun suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

}
“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yg dengan engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengan sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu.”
Al-Muhallab berkata: “Nafkah utk keluarga hukum wajib dgn ijma’ . Adapun Penetap syariat menamakan dgn sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran ada sangkaan bahwa mereka tdk akan diberi pahala atas kewajiban yg mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah mk Penetap syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yg mereka keluarkan adl sedekah mereka sehingga mereka tdk mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dgn sedekah adl dlm rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yg wajib daripada sedekah yg sunnah.”
Namun tentu nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dgn niat krn Allah sebagaimana ditunjukkan dlm hadits Sa’ad di atas.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu: “Hadits ini menerangkan bahwa yg dimaukan dgn sedekah dan nafkah secara mutlak dlm hadits-hadits yg ada adl bila orang yg mengeluarkan itu ihtisab makna ia menginginkan wajah Allah dgn nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dlm keadaan lupa atau kacau pikiran tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yg dinyatakan dlm hadits ini namun yg masuk dlm hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib ia ingat kewajiban utk memberikan infak kepada istri anak-anak budak dan orang2 yg wajib ia nafkahi selain mereka…”
Beliau juga berkata ketika mensyarah hadits Sa’ad: “Hadits ini menunjukkan disenangi memberi infak dlm berbagai perkara kebaikan dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niat sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amal dgn niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana pula dlm hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan utk mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dgn sabda beliau: “Sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu” sementara istri termasuk bagian dunia yg paling khusus bagi seorang laki2 tempat pelampiasan syahwat dan tempat kelezatan yg mubah. Biasa menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama berlemah lembut dan bercumbu dgn sesuatu yg mubah. Bila dipikir keadaan seperti ini tentu sangat jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun bersamaan dgn itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan tersebut dlm rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia akan memperoleh pahala dgn perbuatan tersebut.

Tentu perbuatan yg selain ini lbh pantas utk memperoleh pahala bila ditujukan krn wajah Allah
I. Terkandung dlm hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yg asal mubah dgn mengharap wajah Allah mk ia akan diberi pahala seperti bila seseorang makan dgn niat agar kuat dlm melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidur utk istirahat agar bisa bangun utk melaksanakan ibadah dlm keadaan segar lagi bersemangat bercumbu dgn istri dan budak wanita yg dimiliki dgn tujuan menjaga diri pandangan dan selain dari perkara yg haram juga utk tujuan memenuhi hak istri dan utk memperoleh anak yg shalih. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wallahu a’lam.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Dari hadits ini diambil faidah bahwasa satu amalan tdk akan diperoleh pahala karena kecuali bila amalan itu bergandengan dgn niat.”
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas: “Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yg melakukan akan diberi pahala dgn tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yg wajib dgn penamaan sebagai sedekah bahkan nafkah ini lbh utama daripada sedekah yg sunnah.”

Nafkah yg diberikan seorang suami kepada keluarga merupakan nafkah yg paling utama dan paling besar pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tsauban radhiallahu ‘anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

}
“Dinar yg paling utama yg dibelanjakan oleh seseorang adl dinar yg dinafkahkan utk keluarga dan dinar yg dibelanjakan oleh seseorang utk tunggangan dlm jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yg diinfakkan oleh seseorang utk teman-teman di jalan Allah.”

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
}
“Satu dinar yg engkau belanjakan di jalan Allah satu dinar yg engkau keluarkan utk membebaskan budak satu dinar yg engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu mk yg paling besar pahala dari semua nafkah tersebut adl satu dinar yg engkau nafkahkan utk keluargamu.”

Tentu nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dgn kadar kemampuan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang yg mampu hendak memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yg disempitkan rizki hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tdk memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yg Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan yg ada.”

Tidak ada penetapan besar nafkah yg wajib dikeluarkan oleh suami namun yg jadi patokan adl kecukupan nafkah tersebut bagi yg dinafkahi demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat yg ada.

Para suami hendak mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji utk mengganti nafkah yg telah diberikan oleh seorang hamba dan tentu ganti dari Allah lbh baik dan lbh mulia.
“Dan apa saja yg kalian nafkahkan mk Allah akan mengganti dan Dialah Pemberi rizki yg sebaik-baiknya.”
Seorang suami yg tdk memberikan nafkah kepada keluarga sementara ia punya kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yg Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan di pundak dan cukuplah bagi utk mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dlm sabdanya:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوَّتَهُ

“Cukuplah bagi seseorang utk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yg berhak mendapatkan makanan darinya.”6

Al-Imam As
h-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil tentang wajib seseorang memberi nafkah kepada orang yg di bawah tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali krn ia telah meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosa tersebut cukup utk membinasakan diri tanpa harus menyertakan dosa yg selainnya.”

Bila ternyata seorang suami tdk memberikan nafkah kepada istri dgn pemberian yg mencukupi atau malah tdk memberikan sama sekali diperkenankan bagi seorang istri utk mengambil dari harta suami walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun bintu ‘Utbah radhiallahu ‘anha istri Abu Sufyan dan ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Ia mengadukan keadaan diri kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَ وَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَم ُ7 .

فَقَالَ : }
“Abu Sufyan itu seorang lelaki yg bakhil.8 Ia tdk memberi nafkah yg cukup padaku dan
anakku kecuali bila aku mengambil dari harta dlm keadaan ia tdk tahu.”9 Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu dan anakmu dgn apa yg mencukupimu dgn cara yg ma’ruf.”

Namun tentu seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dgn cara yg ma’ruf yaitu kadar harta yg diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah mencukupi.
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dgn cukup sesuai kemampuan tdk boleh seorang istri mengambil harta suami tanpa ijinnya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksud kata Abu Dawud dgn mengatakan: “Semoga Allah menjelekkanmu.” . Demikian pula mengucapkan ucapan yg jelek mencerca mencela dan semisalnya.
2 Berkata Al-Qadhi: “Al-Istisha adl menerima wasiat mk makna ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian utk berbuat kebaikan terhadap para istri mk terimalah wasiatku ini.”
3 Yakni selain istimta’ menjaga diri utk suami menjaga harta suami dan anak serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya.
4 Seperti nusyuz buruk pergaulan dgn suami dan tdk menjaga kehormatan diri.
5 Yang dimaksud dgn yahtasibuha adl bertujuan utk mencari pahala.
6 Orang yg ia beri makan adl mereka yg wajib utk ia berikan infak/nafkah yaitu istri anak-anak budak yg diimiliki.
7 dlm lafadz lain Hindun berkata:
“Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari harta dgn sembunyi-sembunyi?”
8 Al-Qurthubi menyatakan: “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dlm seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan diri bersama Abu Sufyan bahwa Abu Sufyan menyempitkan pemberian nafkah untuk dan utk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak krn kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut terhadap istri dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dlm rangka mengambil hati mereka.”
9 Hadits ini merupakan satu dalil tentang boleh seseorang menyebut perkara orang lain yg tdk ia sukai bila dlm rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkara kepada orang yg berwenang dan semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yg diperbolehkan.